Oleh: dakwahwaljihad | Februari 20, 2011

HADITS: “Semoga Allah tidak akan mengenyangkan perutnya”

HADITS: “Semoga Alloh tidak akan mengenyangkan perutnya.” YAKNI PERUT MU’AWIYAH

ANTARA CELAAN DAN PUJIAN

 

“SEMOGA ALLAH TIDAK AKAN MENGENYANGKAN PERUTNYA, YAKNI PERUT MU’AWIYAH”.

Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dawud Ath-Thayalisi dalam kitab Musnadnya (2746): Telah menceritakan kepada kami Hisyam dan Abu ‘Awanah dari Abu Hamzah Al-Qashab dari Ibnu ‘Abbas: “Bahwa Rasulullah –shalallahu ‘alaihi wa sallam– mengutus (seseorang) memanggil Mu’awiyah agar menuliskan (wahyu) untuknya. (orang tadi) berkata: “Dia sedang makan” kemudian beliau memanggilnya lagi untuk yang kedua kalinya, orang tadi berkata: “Dia sedang makan”. Lalu Rasulullah –shalallahu ‘alaihi wa sallam– bersabda: (Kemudian menyebutkan hadits di atas)

Syaikh Al-Albany berkata: hadits ini sanadnya shahih. Para perowinya tsiqah (kuat) perowinya Imam Muslim. Sedangkan Abu Hamzah Al-Qashab yang namanya adalah Imran bin Abi ‘Atho’ diperbincangkan oleh sebagian ulama’ tetapi hal itu tidak menjatuhkannya, karena ia juga diberi rekomendasi oleh para ulama yang jumlahnya lebih banyak, diantara mereka adalah Imam Ahmad, Ibnu Ma’in dan yang lainnya. Dan ulama’ yang mendha’ifkannya tidak menjelaskan alasannya. Maka termasuk Jarh Mubham (kritikan yang tidak jelas/tanpa alasan). Jarh Mubham seperti ini tidak diterima, dan yang nampak, karena alasan itulah Imam Muslim memakainya sebagai hujjah.

Imam Muslim meriwayatkan hadits ini dalam kitab Shahihnya (8/27) dari Syu’bah dari Abu Hamzah Al-Qashab (dari Ibnu ‘Abbas). Imam Ahmad (1/240, 291, 335, 338) dari Syu’bah dan Abu ‘Awanah darinya (Abu Hamzah Al-Qashab) sama dengan diatas, tanpa menyebutkan lafazh: “Semoga Allah tidak akan mengenyangkan perutnya” sepertinya itu adalah ringkasan dari Imam Ahmad atau sebagian gurunya. Di riwayat lain terdapat tambahan: “Ia seorang penulis wahyu” dan sanadnya shahih.

Sebagian kelompok (sesat) –diantaranya Syi’ah Rafidhah- menjadikan hadits ini sebagai peluang untuk mencela Mu’awiyah -radhiallahu ‘anhu-, akan tetapi hadits itu tidak mendukung kemauan mereka, bagaimana tidak, dalam riwayat diatas disebutkan bahwa Mu’awiyah adalah penulis wahyu. Oleh karena itu Al-Hafizh Ibnu Asakir dalam kitabnya (16/349/2) berkata: “Hadits ini merupakan hadits tershahih tentang keutamaan Mu’awiyah.” Maka jelaslah bahwa rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam tidak memaksudkan kejelekan. Akan tetapi hanya kebiasaan orang arab yang tidak memiliki tujuan jelek. Sebagai contoh sabda beliau shalallahu ‘alaihi wasallam kepada sebagian istrinya: “‘Aqri Halqi (kemandulanku adalah nasib jelekku” demikian pula: “Taribat Yaminuka (Celaka tangan kananmu).” Atau itu adalah gaya bahasa khas beliau –shalallahu ‘alaihi wa sallam-, sebagaimana nada serupa juga beliau –shalallahu ‘alaihi wa sallam– ucapkan dalam hadits-hadits yang mutawatir.

Diantaranya adalah hadits ‘Aisyah –radhiallahu ‘anha-, dia berkata: “Ada dua orang menemui rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, keduanya mengatakan sesuatu yang aku tidak mengetahuinya, seketika itu rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam pun marah, melaknat dan mencela keduanya. Ketika keduanya keluar aku berkata: “Wahai rasulullah, siapa yang pernah memperoleh kebaikan seperti yang diperoleh kedua orang ini? beliau balik bertanya: “Kebaikan apa itu?” Aku menjawab: “Engkau telah melaknat dan mencaci keduanya” maka beliaupun bersabda: “Apakah kamu tahu apa yang telah aku syaratkan kepada rabbku? Saya memohon: “Ya Allah, saya hanya manusia biasa. Muslim manapun yang pernah aku laknat dan aku caci maka jadikanlah hal itu sebagai pembersih dan pahala baginya.”

Hadits ini dan yang sebelumnya diriwayatkan Imam Muslim dalam satu bab, yaitu: “Bab siapa saja yang pernah dilaknat, dicela ataupun di do’akan jelek oleh Nabi –shalallahu ‘alaihi wa sallam– yang dia tidak berhak mendapatkannya maka itu sebagai pembersih, pahala dan rahmat baginya”

Kemudian Imam Muslim menyebutkan hadits Anas bin Malik, dia berkata: “Dahulu Ummu Sulaim memiliki anak yatim asuh yang bernama Ummu Anas. Suatu hari rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam melihatnya, lalu bertanya: “kamukah itu? Kamu sudah besar semoga Allah tidak memanjangkan umurmu” maka anak yatim tadi datang kepada Ummu Sulaim dalam keadaan menangis. Ummu Sulaim pun bertanya: “ada apa denganmu wahai anakku?” dia menjawab: “Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam telah mendoakan kejelekan untukku yaitu agar Allah tidak memanjangkan umurku” maka Ummu Salamah segera mendatangi Rasulullah –shalallahu ‘alaihi wa sallam– dengan mengalungkan selendangnya di kepala. Ketika telah bertemu Rasulullah –shalallahu ‘alaihi wa sallam-, beliaupun mendahuluinya bertanya: “Ada apa denganmu wahai Ummu Sulaim?” Ummu Sulaim menjawab: “Wahai nabi Allah, apakah engkau mendo’akan jelek terhadap anak yatimku?” beliau balik bertanya: “Apa itu wahai Ummu Sulaim?” Ummu Sulaim berkata: “Anak itu mengatakan bahwa engkau berdo’a agar umurnya tidak diperpanjang.” Maka Rasulullah –shalallahu ‘alaihi wa sallam– pun tertawa, kemudian bersabda:

“Wahai Ummu Sulaim, apakah kamu tidak tahu perjanjian yang telah aku sepakati dengan Rabbku? Aku telah meminta janji kepada Rabbku: “Sesungguhnya aku adalah manusia biasa, aku senang sebagaimana manusia yang lain merasakan senang dan aku marah sebagaimana manusia yang lain marah. Maka siapasaja dari umatku yang telah aku do’akan kejelekan yang dia tidak berhak mendapatkannya, agar dijadikan sebagai pensuci, pembersih, dan taqarrub yang dapat mendekatkannya kepada Allah kelak pada hari kiamat.”

Kemudian Imam Muslim memperkuat hadits ini dengan hadits tentang Mu’awiyah sebagai penutup bab, sebagai isyarat dari beliau –rahimahullah– bahwa kedua hadits itu dalam satu pembahasan, dan memiliki satu makna. Sebagaimana do’a jelek beliau tidak berpengaruh kepada anak yatim tadi bahkan menjadi pembersih dan pendekatan diri, demikian pula do’a jelek beliau kepada Mu’awiyah –radhiyallahu ‘anhu-.

Imam Nawawi dalam syarah Muslim (2/325 cet. India) menekankan: “Adapun do’a jelek beliau kepada Mu’awiyah memiliki dua kemungkinan:

Pertama: Itu hanya kebiasaan lisan arab tanpa ada tujuan (jelek)

Kedua: Sebagai hukuman atas keterlambatan Mu’awiyah.

Dalam memahami hadits ini Imam Muslim berpendapat, bahwa Mu’awiyah tidak berhak mendapatkan do’a jelek ini, oleh karena itu beliau memasukkannya kedalam bab ini, sebagai kelebihan bagi Mu’awiyah. Karena pada hakekatnya perkataan rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam itu merupakan do’a kebaikan baginya.”.

Imam Adz-Dzahabi dalam kitabnya “Siyaru A’lamin Nubala” (9/171/2) lebih memilih kemungkinan yang kedua, beliau mengakatan: “Aku katakan: Do’a itu justru kebaikan bagi Mu’awiyah, karena Rasulullah –shalallahu ‘alaihi wa sallam– bersabda: “Ya Allah, siapasaja yang pernah aku laknat atau aku cela maka jadikanlah itu sebagai pembersih dan pahala baginya”.

Dan ketahuilah bahwa sabda beliau –shalallahu ‘alaihi wa sallam-: “Sesungguhnya aku adalah manusia biasa, aku senang sebagaimana manusia yang lain merasakan senang…” adalah penjelasan terhadap firman Allah –tabaraka wa ta’ala-: “Katakanlah: Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: “Bahwa sesungguhnya Illah kamu itu adalah Illah yang Esa.” Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Rabbnya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadah kepada Tuhannya.” (QS. Al-Kahfi : 110)

Sebagian para pengikut hawa nafsu terlalu tergesa-gesa untuk mengingkari hadits ini dengan alasan sebagai pengagungan terhadap Nabi –shalallahu ‘alaihi wa sallam– dan bahwa beliau terbebas dari perkataan-perkataan seperti itu. Tidak ada peluang bagi mereka untuk mengingkari perkara ini karena haditsnya jelas shahih, bahkan sampai ketingkatan mutawatir. Sebab Imam Muslim telah meriwayatkannya dari ‘Aisyah, Ummu Salamah, sebagaimana yang telah kami sebutkan, dan dari Abu Hurairah, Jabir radhiallahu ‘anhuma. Demikian pula dari Salman, Anas, Samurah, Abu Thufail, Abu Sa’id dan selain mereka. Lihat “Kanzul ‘Umal” (2/124).

Mengagungkan nabi yang sesuai syari’at adalah dengan cara mengimani setiap berita-berita yang datang dari beliau –shalallahu ‘alaihi wa sallam– dengan shahih, dengan itulah akan terkumpul keimanan bahwa beliau shalallahu ‘alaihi wasallam adalah seorang hamba biasa sekaligus seorang rasul, tanpa berlebihan atau meremehkan. Maka beliau –shalallahu ‘alaihi wa sallam– adalah manusia biasa, sebagaimana keterangan dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Akan tetapi beliau adalah pemimpin umat manusia, dan manusia termulia secara mutlak dengan nash hadits-hadits yang shahih. Sebagaimana juga di tunjukkan oleh sejarah kehidupan beliau yang telah dihiasi oleh Allah dengan akhlak yang muliau, sikap-sikap terpuji, sebagai kesempurnaan yang belum pernah diraih oleh manusia manapun.

Maha benarlah Allah yang Maha Agung ketika berfirman:

“Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.” (QS. Al-Qalam : 4)

LIHAT:  Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah, karya Syaikh Al-Albany hadits no. 82, 83, 84.



Tinggalkan komentar

Kategori