Oleh: dakwahwaljihad | Mei 3, 2010

Kenikmatan Hidup

K E N I K M A T A N   H I D U P

Lafadz Hadits

حَدَّثَنَا سُوَيْدُ بْنُ سَعِيدٍ وَمُجَاهِدُ بْنُ مُوسَى قَالَا حَدَّثَنَا مَرْوَانُ بْنُ مُعَاوِيَةَ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ أَبِي شُمَيْلَةَ عَنْ سَلَمَةَ بْنِ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ مِحْصَنٍ الْأَنْصَارِيِّ عَنْ أَبِيهِ، قال: قال رَسُولُ اللَّهِ  مَنْ أَصْبَحَ مِنْكُمْ مُعَافًى فِي جَسَدِهِ آمِنًا فِي سِرْبِهِ عِنْدَهُ قُوتُ يَوْمِهِ فَكَأَنَّمَا حِيزَتْ لَهُ الدُّنْيَا

Telah menceritakan kepada kami Suwaid bin Sa’id dan Mujahid bin Musa, keduanya berkata: telah menceritakan kepada kami Marwan bin Mu’awiyah, telah menceritakan kepada kami Abdurrahman bin Abu Syumailah dari Salamah bin ‘Ubaidillah bin Mihshan al-Anshari dari ayahnya dia berkata, “Barangsiapa yang di pagi hari sehat badannya, tenang jiwanya, dan dia mempunyai makanan di hari itu, maka seolah-olah dunia ini dikaruniakan kepadanya.”

Takhrij Hadits

Hadits ini dikeluarkan oleh Imam Ibnu Majah dalam “Sunan”-nya dalam kitab “az-Zuhd”, bab “al-Qana’ah”, dengan nomer hadits (4141), melalui jalur Suwaid dan Mujahid bin Musa dari Marwan bin Mu’awiyah dari ‘Abdurrahman bin Abu Syumailah dari Salamah bin ‘Ubaidullah bin Mihsan al-Anshari dari bapaknya.[1]

Juga dikeluarkan oleh Imam at-Tirmidzi dalam “Shahih”-nya dengan redaksi yang berbeda, dalam kitab “Zuhud Rasulullah –shallallaahu ‘alaihi wa sallam-”, bab “Tawakkal kepada Allah”, dengan nomer hadits (2346), melalui jalur ‘Amru bin Malik dan Mahmud bin Khidasy al-Baghdadi dari Marwan bin Mu’awiyah dari ‘Abdurrahman bin Abu Syumailah al-Anshari dari Salamah bin ‘Ubaidullah bin Mihsan al-Khatmiyyi al-Anshari dari bapaknya. Ibnu Majah menghasankan hadits ini. Abu Isa berkata, “Hadits ini hasan gharib[2]. Kami tidak mengetahuinya kecuali dari hadits Marwan in Mu’awiyyah.”[3]

Penjelasan Hadits

Setiap manusia, apalagi sebagai muslim, tentu mendambakan kehidupan yang menyenangkan di dunia ini, bahkan kalau perlu seolah-olah dunia ini menjadi milik kita. Untuk bisa merasakan kehikmatan hidup di dunia ini, ada tiga perkara yang harus dicapai oleh seorang muslim, hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadis Nabi –shallallaahu ‘alaihi wa sallam- di atas,

مَنْ أَصْبَحَ مِنْكُمْ مُعَافًى فِي جَسَدِهِ آمِنًا فِي سِرْبِهِ عِنْدَهُ قُوتُ يَوْمِهِ فَكَأَنَّمَا حِيزَتْ لَهُ الدُّنْيَا

“Barangsiapa yang di pagi hari sehat badannya, tenang jiwanya, dan dia mempunyai makanan di hari itu, maka seolah-olah dunia ini dikaruniakan kepadanya.”

Untuk memahami lebih dalam tentang apa yang dimaksud oleh Rasulullah –shallallaahu ‘alaihi wa sallam-, hadits di atas perlu kita pahami dengan baik.

Badan Yang Sehat

Badan yang sehat merupakan suatu kenikmatan tersendiri bagi manusia yang tidak ternilai harganya, rasanya tidak ada artinya segala sesuatu yang kita miliki bila kita tidak memiliki kesehatan jasmani. Apa artinya harta yang berlimpah dengan mobil yang mahal harganya, rumah yang besar dan bagus, kedudukan yang tinggi dan segala sesuatu yang sebenarnya menyenangkan untuk hidup di dunia ini bila kita tidak sehat. Oleh karena kesehatan bukan hanya harus dibanggakan dihadapan orang lain, tetapi yang lebih penting lagi adalah harus disyukuri kepada yang menganugerahkannya, yakni Allah –subhaanahu wa ta’ala-.

Kesehatan badan bisa diraih dengan mencegah dari segala penyakit yang akan menyerang tubuh dan mengatur segala keseimbangan yang diperlukannya. Oleh karena itu, tubuh manusia punya hak-hak yang harus dipenuhi, di antara hak-hak itu adalah bersihkan jasmani bila kotor, makan bila lapar, minum bila haus, istirahat bila lelah, berlindung dari panas dan dingin, berobat bila terserang penyakit, dan lain-lain. Ini merupakan salah satu bentuk dari rasa syukur kepada Allah –subhaanahu wa ta’ala- yang harus kita tunjukkan. Bentuk syukur yang lain adalah memanfaatkan kesehatan jasmani dengan segala kesegaran dan kekuatannya untuk melakukan berbagai aktivitas yang menggambarkan pengabdian kita kepada Allah –subhaanahu wa ta’ala-.

Namun, yang amat disayangkan dan ini diingatkan betul oleh Rasulullah –shallallaahu ‘alaihi wa sallam- adalah banyak manusia yang lupa dengan kondisi kesehatannya. Saat sehat ia tidak mencegah kemungkinan datangnya penyakit, tidak memenuhi hak-hak jasmani dan tidak menggunakan kesehatannya itu untuk melakukan aktivitas pengabdian kepada Allah–subhaanahu wa ta’ala-sehingga pada saat sakit, barulah ia menyesal dengan penyesalan yang sangat dalam.

Rasulullah Rasulullah –shallallaahu ‘alaihi wa sallam- bersabda,

نِعْمَتَانِ مَغْبُونٌ فِيهِمَا كَثِيرٌ مِنْ النَّاسِ الصِّحَّةُ وَالْفَرَاغُ

“Ada dua nikmat yang sering dilalaikan oleh kebanyakan manusia, yaitu kesehatan dan waktu luang.”[4]

Jiwa Yang Tenang

Hal yang tidak kalah pentingnya dari badan yang sehat adalah jiwa yang tenang, sebab apa artinya manusia memiliki jiwa yang sehat bila jiwanya tidak tenang, bahkan badan yang sakit sekalipun tidak menjadi persoalan yang terlalu memberatkan bila dihadapi dengan jiwa yang tenang, apalagi ketenangan jiwa bila menjadi modal yang besar untuk bisa sembuh dari berbagai penyakit.

Jiwa yang tenang adalah jiwa yang selalu berorientasi kepada Allah –subhaanahu wa ta’ala-, karena itu, orang yang ingin meraih ketenangan hidup dijalani kehidupan dengan segala aktivitasnya karena Allah, dengan ketentuan yang telah digariskan Allah–subhaanahu wa ta’ala-dan untuk meraih ridha dari Allah–subhaanahu wa ta’ala-. Dengan demikian, sumber ketenangan hidup bagi seorang muslim adalah keimanan kepada Allah –subhaanahu wa ta’ala- dan ia selalu berdzikir kepada Allah –subhaanahu wa ta’ala- dengan segala aplikasinya.

Allah –subhaanahu wa ta’ala-berfirman yang artinya,

الَّذِينَ آَمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُمْ بِذِكْرِ اللَّهِ أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ

“Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tentram (tenang) dengan mengingat Allah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenang.” (QS. ar-Ra’ad: 28).

Oleh karena itu, keimanan kepada Allah –subhaanahu wa ta’ala- yang merupakan sumber ketenangan akan membuat seorang muslim merasa senang untuk mendapatkan beban-beban berat dan tidak ada kegelisahan sedikit pun di dalam hatinya dalam menjalankan tugas-tugas yang berat itu. Abu Na’im dan Ibnu Hibban meriwayatkan bahwa para sahabat Nabi Rasulullah –shallallaahu ‘alaihi wa sallam- bahu-membahu membawa satu persatu batu bata yang besar untuk membangun masjid. Tetapi, ‘Ammar bin Yasir justru membawa dua tumpukan batu bata besar. Ketika Nabi Rasulullah –shallallaahu ‘alaihi wa sallam- melihatnya, beliau membersihkan debu dari kepala ‘Ammar sambil bersabda, “Wahai Ammar, tidakkah cukup bagimu untuk membawa seperti yang dilakukan para sahabatmu?” ‘Ammar menjawab, “Saya mengharapkan pahala dari Allah.”[5] Lalu Nabi Rasulullah –shallallaahu ‘alaihi wa sallam- bersabda, “Sesungguhnya Ammar memiliki keimanan yang penuh dari ujung rambut sampai ke ujung kakinya atau tulangnya.”

Disamping itu, seandainya kematian akan menjemput dirinya, keimanan kepada Allah –subhaanahu wa ta’ala– dengan segala aplikasinya tidak akan membuat seorang muslim takut kepada mati, bahkan ia akan menyambut kematian itu dengan jiwa yang tenang, Allah –subhaanahu wa ta’ala- pun memanggilnya dengan panggilan yang menyenangkan,

يَا أَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ، ارْجِعِي إِلَى رَبِّكِ رَاضِيَةً مَرْضِيَّةً،  فَادْخُلِي فِي عِبَادِي،  وَادْخُلِي جَنَّتِي

“Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jamaah hamba-hamba-Ku dan masuklah ke dalam surga-Ku.” (QS. al-Fajr : 27 – 30).

Dengan demikian, jiwa yang tenang membuat kehidupan manusia bisa dijalani dengan sebai-baiknya dan memberi manfaat yang besar, tidak hanya bagi dirinya tetapi juga bagi orang lain, sedangkan kematiannya justru akan menjadi kenangan manis bagi orang yang hidup dan ia akan mendapatkan kebahagiaan yang hakiki dengan masuk ke dalam surga dengan segala kenikmatan yang tiada terbayangkan.

Makanan Yang Cukup

Makanan, termasuk di dalamnya adalah minuman, merupakan kebutuhan yang sangat pokok dalam kehidupan manusia. Kesehatan manusia tidak bisa dipertahankan bila ia tidak makan dan tidak minum, bahkan tidak sedikit orang yang semula memiliki kekuatan iman tidak bisa lagi dipertahankan keimanannya karena lapar, sedangkan bila situasinya sangat darurat, seorang muslim pun terpaksa harus memakan sesuatu yang pada dasarnya haram untuk dimakan, namun apakah seorang muslim bisa untuk berlama-lama dalam situasi darurat?

Oleh karena itu, memiliki makanan yang cukup atau perekonomian yang memadai merupakan suatu kenikmatan tersendiri dalam hidup ini, sedangkan bila kondisi kehidupan seseorang dalam keadaan lapar, dan ia tidur dalam keadaan yang demikian, maka hal itu merupakan sesuatu yang sangat jelek, karenanya Rasulullah Rasulullah –shallallaahu ‘alaihi wa sallam- selalu berdo’a sebagaimana terdapat dalam hadits,

اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ الْجُوعِ فَإِنَّهُ بِئْسَ الضَّجِيعُ

“Ya Allah, aku berlindung kepadamu dari lapar, karena ia adalah teman tidur yang paling jelek.”.[6]

Untuk bisa memenuhi kebutuhan pangan, seorang muslim sangat dituntut untuk mencari nafkah, baik untuk diri maupun keluarganya, apalagi bila ia bisa membantu orang lain seperti anak yatim, fakir miskin, dan sebagainya. Itu sebabnya, orang yang mencari nafkah secara halal dan terhormat (bukan dengan cara mengemis atau meminta-minta) sangat dimuliakan oleh Allah –subhaanahu wa ta’ala-. Karenanya setiap muslim harus bersungguh-sungguh dalam mencari nafkah guna memenuhi kebutuhannya. Bila sudah terpenuhi dan selalu bisa dipenuhi kebutuhan nafkah diri dan keluarganya, maka hal ini merupakan suatu kenikmatan dalam kehidupan dan iman bila dipertahankan dan ditingkatkan kualitasnya pada masa-masa mendatang. Paling tidak, salah satu faktor yang membuat seseorang bisa menjadi kufur telah teratasi.

Demikian tiga faktor penting yang membuat manusia bisa dikatakan memperoleh kenikmatan dalam hidupnya di dunia yang sangat berpengaruh pada upaya memperoleh kenikmatan di akhirat kelak.

Referensi:

Al-Qur’an al-Karim.

Imam Abu ‘Abdillah Muhammad bin ‘Isma’il al-Bukhari. Shahih al-Bukhari. Beirut: Daar al-Fikri, 1419 H/1998M.

Imam Muhyiddin an-Nawawi. al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim ibn al-Hajjaj. Daar al-Maghfirah-Beirut, 1420 H/1999 M. cet. Ke-6.

Abu ‘Abdillah Muhammad ibn Yazid. Sunan Ibnu Majah, Daar al-Fikr-Beirut.

Muhammad Nasiruddin al-Albani. Shahih Sunan at-Tirmidzi, Riyadh: Maktabah al-Ma’aarif, 1420 H/2000 M. cet. Ke-1.

Abu Dawud Sulaiman ibn Al-Ats’ats. Sunan Abu Dawud. Riyadh: Bait al-Afkar ad-Dauliyah.

Abu ‘Abdirrahman Ahmad ibn Syu’aib. Sunan An-Nasa’i. Riyadh: Bait al-Afkar ad-Dauliyah.

Abu ‘Abdillah Muhammad ibn ‘Abdillah Al-Hakim. Mustadrak ‘ala ash-Shahihaini. Beirut: Daar Ibnu Hazm, 1428H/2007M. cet. Ke-1.

Dr. Mahmud Thahan. Taisiir Musthalahil Hadits. Surabaya: Al-Hidayah, 1393H/1973M.


[1] Sunan Ibnu Majah, (2/1387).

[2] Hadits gharib adalah hadits yang diriwayatkan oleh seorang perawi secara sendirian. Hadits ini termasuk dalam kategori hadits ahad. (Lihat, DR. Mahmud Thahan, Taisiir Musthalah al-Hadits, hal. 28).

[3] Shahih Sunan Tirmidzi, (2/542).

[4] HR. Bukhari, dalam kitab: Ar-Riqaaq (Kelapangan Hidup), bab: Kesehatan,  Waktu Kosong dan Tidak ada Kehidupan kecuali Kehidupan Akhirat, ( hadits no. 6412 ).

[5] HR. Hakim dalam Mustadrak-nya, dalam kitab: Memerangi Para Pemberontak, (hadits no. 2653). Beliau mengatakan, “Hadits shahih sesuai syarat al-Bukhari.”

[6] HR. Abu Dawud, dalam kitab: Witir, bab: al-Isti’adzah (Minta Perlindungan), (hadits no. 1547), dan an-Nasa’i, dalam kitab: al-Isti’adzah (Minta Perlindungan), bab: Berlindung dari Kelaparan, (hadits no. 5468) dan bab: Berlindung dari Pengkhianatan, (hadits no. 5469), dan Ibnu Majah, dalam kitab: al-Atha’imah (Makanan), bab: Berlindung dari Kelaparan, (hadits no. 3345).


Tinggalkan komentar

Kategori