Oleh: dakwahwaljihad | Mei 8, 2010

Pernikahan Muslim dengan Ahli Kitab Dalam Perspektif Fiqih

PERNIKAHAN MUSLIM DENGAN AHLI KITAB DALAM PERSPEKTIF FIQIH

Menyikapi Argumentasi Kaum Liberal (bag. IV-selesai)

Ditulis oleh: Mujiburrahman Abu Sumayyah

Artikel bagian yang ke empat ini merupakan inti dari pembahasan sebelumnya. Semoga hal ini dapat menambah wawasan kita mengenai hukum pernikahan antara seorang Muslimah dengan laki-laki kafir. Sehingga kita bisa mengetahui manakah pendapat yang benar yang sesuai dengan al-Qur’an dan as-Sunnah dengan pemahaman Salafush Shalih, dan itulah harus kita ikuti dan mana pendapat yang salah, dan itulah yang harus kita jauhi, atau kalau perlu kita bantah dan kita luruskan.

Sungguh mengejutkan ketika salah seorang pengusung paham Liberal yang juga berstatus menjadi dosen di UIN Jakarta, Abdul Muqsith Ghazali mengatakan, “Menurut saya, pernikahan tersebut (antara Muslimah dengan laki-laki Khatolik) tetap sah dengan berlandaskan pada dua argumen berikut. Pertama, tidak dijumpai di dalam al-Qur’an sebuah dalil yang secara tegas melarang pernikahan seperti itu. Sementara perihal pelarangan atas pernikahan Muslimah dengan laki-laki non-Muslim justru berada di lingkungan buku-buku tafsir al-Qur’an dan tidak ada dalam al-Qur’an itu sendiri. Hemat saya, ketiadaan dalil yang melarang itu adalah dalil bagi bolehnya pernikahan tersebut. Dalam bahasa ushul fiqih dikatakan, ‘adamud dalil huwa ad-dalil’ (tidak ada dalil adalah sebuah dalil).”[1]

Begitu juga dengan seorang dosen tetap Fakultas Ushuluddin UIN Jakarta, “Doktor” Zainul Kamal, dia mengatakan, “Bahwa teks al-Qur’an secara eksplisit tidak ada yang melarang (pernikahan antara laki-laki non-Muslim dengan Muslimah). Hanya saja mayoritas ijtihad ulama, termasuk di Indonesia, tidak memperbolehkannya meski secara teks tidak ada larangan. Makanya, yang memperbolehkan memiliki landasannya dan yang melarang juga memiliki landasan tertentu. Larangan Muslimah menikah dengan laki-laki non-Islam itu tidak disebutkan dalam al-Qur’an. Ini merupakan pendapat sebagian ulama.”[2]

Sungguh mereka telah berdusta dan pernyataan-pernyataan mereka hanya mendasarkan pada hawa nafsu semata. Sungguh tidaklah pantas bagi orang-orang seperti mereka berbicara tentang hukum-hukum yang telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya.

Masih banyak syubhat-syubhat yang semisal dengan pernyataan-pernyataan di atas yang pada intinya mereka ingin menghancurkan bangunan pondasi Islam ini dengan cara mengotak-atik dalil-dalil qath’i, baik dari al-Qur’an maupun as-Sunnah.

Perlu diketahui bahwa pernikahan antara seorang Muslimah dengan laki-laki Ahlu Kitab akan membawa implementasi yang serius baik dalam tinjauan hukum Islam ataupun akibat-akibat lain yang menyertainya. Apabila pasangan suami isteri memiliki perhatian secara serius dan normal terhadap agamanya, tentulah akan terjadi tarik menarik dan sikap saling mempengaruhi dalam urusan agama anak-anak mereka, sehingga hal itu akan membuat bingung anak-anak. Kecuali jika keduanya menganggap bahwa agama bukanlah suatu yang prinsip, sehingga membebaskan anak-anaknya memilih agama apa yang disukainya. Namun sikap ini akan menunjukkan ketidakseriusan keduanya dalam beragama atau wujud kurangnya keyakinan bahwa agamanyalah yang paling benar.

Lalu bagaimana syari’at memandang hal tersebut? Karena hal ini merupakan masalah yang sangat serius. Jika pernikahan tersebut tidak sah, maka hubungan antar keduanya bukan hubungan suami istri. Sehingga anak yang dilahirkan dianggap tidak memiliki wali dan tidak berhak pula mendapatkan warisan karena tidak ada waris-mewarisi antara muslim dan kafir. Sekaligus kita akan membuktikan, benarkah pernyataan-pernyataan para pengusung paham Liberal di atas, atau hanya omong kosong belaka. Agar permasalahan ini lebih jelas, maka kita akan membahasnya satu persatu secara terperinci.

HUKUM MUSLIMAH MENIKAH DENGAN AHLI KITAB

Para ulama, baik salaf maupun khalaf tidak ada perbedaan pendapat diantara mereka dalam menghukumi pernikahan antara seorang Muslimah dengan laki-laki kafir, baik dari kalangan Ahli Kitab atau non-Ahli Kitab. Mereka bersepakat bahwa pernikahan seperti ini hukumnya haram secara mutlak.[3]

Mereka menyandarkan kepada banyak dalil, diantaranya:

1. QS. al-Baqarah : 221. Allah –subhaanahu wa ta’ala- berfirman,

وَلاَ تُنكِحُواْ الْمُشِرِكِينَ حَتَّى يُؤْمِنُواْ وَلَعَبْدٌ مُّؤْمِنٌ خَيْرٌ مِّن مُّشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ أُوْلَـئِكَ يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ وَاللّهُ يَدْعُوَ إِلَى الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ بِإِذْنِهِ وَيُبَيِّنُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ

…dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.” [4]

Tentang ayat ini, Imam Ibnu Katsir –rahimahullaahu ta’ala- mengatakan, Janganlah kalian (orang Mukmin) menikahkan laki-laki musyrik dengan wanita-wanita yang beriman.[5]

2. QS. al-Mumtahanah : 10. Allah –subhaanahu wa ta’ala- berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا جَاءكُمُ الْمُؤْمِنَاتُ مُهَاجِرَاتٍ فَامْتَحِنُوهُنَّ اللَّهُ أَعْلَمُ بِإِيمَانِهِنَّ فَإِنْ عَلِمْتُمُوهُنَّ مُؤْمِنَاتٍ فَلَا تَرْجِعُوهُنَّ إِلَى الْكُفَّارِ لَا هُنَّ حِلٌّ لَّهُمْ وَلَا هُمْ يَحِلُّونَ لَهُنَّ

Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka. Maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman,  janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka. [6]

Dalam mengomentari ayat di atas, Imam Ibnu Katsir –rahimahullaahu ta’ala- mengatakan, “Ayat ini mengharamkan pernikahan antara wanita-wanita Muslimah dengan laki-laki musyrik, yang mana pada permulaan Islam, laki-laki musyrik diperbolehkan menikah dengan wanita Muslimah.”[7]

Imam al-Qurtubi –rahimahullaahu ta’ala-, dalam tafsirnya beliau menjelaskan ayat ini dengan mengatakan bahwa, “Allah tidak menghalalkan seorang Mukminah (dinikahi) oleh laki-laki kafir, begitu pula tidak diperbolehkan seorang Mukmin menikahi wanita musyrik.”[8]

Begitupula dengan ulama yang lain, mereka menjelaskan bahwa ayat di atas menunjukkan pengharaman pernikahan antara seorang Muslimah dengan laki-laki kafir.[9]

Maka telah jelas bahwa dua ayat di atas secara gamblang menjelaskan bahwa wanita Muslimah tidak halal (haram) bagi orang-orang kafir. Barangkali karena kelompok “Islam” Liberal tidak mengkafirkan non-Muslim, sehingga mereka mengatakan bahwa tidak ada ayat yang melarang wanita Muslimah dinikahi oleh non-Muslim.

Sehingga jika mereka mengatakan bahwa larangan pernikahan beda agama itu terjadi jika seorang Muslimah menikah dengan lelaki kafir atau musyrik, sedangkan Ahli Kitab (Yahudi dan Nashrani) tidak termasuk mereka. Maka dalam hal ini kita katakan bahwa, “Ini adalah sebuah kedustaan yang besar., karena Allah –subhaanahu wa ta’ala- sendiri telah menegaskan dalam banyak dengan jelas bahwa Ahli Kitab, baik dari kalangan Yahudi maupun Nasrani adalah KAFIR. Sebagaimana tercantum dalam firman-Nya,

إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَالْمُشْرِكِينَ فِي نَارِ جَهَنَّمَ خَالِدِينَ فِيهَا أُوْلَئِكَ هُمْ شَرُّ الْبَرِيَّةِ

Sesungguhnya orang-orang yang kafir yakni Ahli Kitab dan orang-orang yang musyrik (akan masuk) ke neraka Jahannam, mereka kekal di dalamnya. Mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk. [10]

Lebih jelas lagi dijelaskan dalam firman-Nya,

لَقَدْ كَفَرَ الَّذِينَ قَالُوا إِنَّ اللَّهَ هُوَ الْمَسِيحُ ابْنُ مَرْيَمَ

Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata, ‘Sesungguhnya Allah itu ialah al-Masih putera Maryam.”[11]

Dalam ayat yang pula, Allah –subhaanahu wa ta’ala- menegaskan,

لّقَدْ كَفَرَ الَّذِينَ قَالُواْ إِنَّ اللّهَ ثَالِثُ ثَلاَثَةٍ

Sesungguhnya kafirlah orang-orang yang mengatakan, ‘Bahwasanya Allah salah seorang dari yang tiga”.[12]

Perlu diperhatikan pula bahwa Abu Hurairah –radhiyallaahu ‘anhu- pernah meriwayatkan dari Rasulullah –shallaallaahu ‘alahi wa sallam-, bahwa beliau bersabda,

وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ، لَا يَسْمَعُ بِي أَحَدٌ مِنْ هَذِهِ الْأُمَّةِ يَهُودِيٌّ وَلَا نَصْرَانِيٌّ، ثُمَّ يَمُوتُ وَلَمْ يُؤْمِنْ بِالَّذِي أُرْسِلْتُ بِهِ إِلَّا كَانَ مِنْ أَصْحَابِ النَّارِ.

“Demi Dzat yang jiwa Muhammad di tangan-Nya. Tidak ada seorangpun dari umat ini baik Yahudi maupun Nasrani yang mendengar tentangku kemudian dia meninggal dan tidak beriman kepada ajaranku, kecuali dia termasuk ahli neraka.[13]

Imam asy-Syathibi –rahimahullaahu ta’ala- berkata, “Kami melihat dan mendengar bahwa kebanyakan Yahudi dan Nashrani mengetahui tentang agama Islam ini, dan bahkan mengetahui banyak tentang berbagai permasalahan lain, baik dalam masalah yang ushul (pokok), maupun yang furu’ (cabang). Akan tetapi semua itu tidak bermanfaat bagi mereka selama mereka tetap berada di atas kekafiran. Hal ini sudah menjadi kesepakatan ahli Islam.[14]

3. Imam Ibnu Katsir –rahimahullaahu ta’ala- menukil riwayat dari Imam Ibnu Jarir –rahimahullaahu ta’ala-, bahwa Jabir bin Abdullah mengatakan, bahwasanya Rasulullah –shallaallaahu ‘alahi wa sallam- bersabda,

نتزوج نساء أهل الكتاب ولا يتزوَّجون نساءَنا.

Kami (diperbolehkan) menikahi wanita Ahli Kitab, dan mereka (yaitu laki-laki Ahli Kitab) tidak diperbolehkan menikahi wanita-wanita kami (Muslimah). [15]

Umar bin al-Khattab –radhiyallaahu ‘anhu- menguatkan riwayat di atas, beliau mengatakan, Seorang Muslim diperbolehkan menikahi wanita Nasrani, akan tetapi laki-laki Nasrani tidak diperbolehkan menikahi wanita Muslimah.[16]

4. Kaidah fiqih.

Dalam kaidah fiqih disebutkan:

الأَصْلُ فِي الأَبْضَاعِ التَّحَرِيْمُ

“Pada dasarnya dalam masalah farji (kemaluan) itu hukumnya haram.”

Sehingga apabila dalam masalah farji wanita terdapat dua hukum (perbedaan pendapat) antara yang halal dan haram, maka yang dimenangkan adalah hukum yang mengharamkan.[17]

Setelah menyebutkan beberapa dalil yang menunjukkan pengharaman pernikahan Muslimah dengan laki-laki Ahli Kitab, maka di sana ada beberapa hikmah yang bisa kita petik, diantaranya:

1. Allah telah menetapkan bahwa seorang suami berkedudukan sebagai pemimpin (qawwam) bagi wanita dalam rumah tangga.[18] Sehingga dirinya memiliki hak untuk mengatur dan mengarahkan isterinya, dan seorang isteripun berkewajiban untuk mentaati perintah suami tersebut selama masih dalam koredor kebaikan, bukan kemaksiatan kepada Allah –subhaanahu wa ta’ala-. Apabila seorang Muslimah menikah dengan laki-laki Ahli Kitab, maka dalam kondisi seperti ini seorang Muslimah memiliki derajat yang lebih tinggi dibandingkan dengan laki-laki kafir, baik dalam hal tauhid, keimanan ataupun harga diri. Hal ini berarti berarti bertentangan dengan ketetapan Allah –subhaanahu wa ta’ala- di atas. Selain itu juga seorang suami yang berstatus kafir tersebut akan berkuasa terhadap isterinya dan menjadi wali (penolong/pelindung) bagi isterinya. Padahal Allah –subhaanahu wa ta’ala- dengan jelas telah melarang bagi orang Islam, baik laki-laki maupun wanita untuk mengambil orang kafir sebagai wali. Sebagaimana dalam firman-Nya,

لاَّ يَتَّخِذِ الْمُؤْمِنُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاء مِن دُوْنِ الْمُؤْمِنِينَ

Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin.” [19]

2. Agar seorang Muslimah tidak terjerumus kepada kekafiran. Hal ini dikarenakan:

  • Seorang suami kemungkinan besar akan mengajak isterinya yang Muslimah kepada diennya.
  • Sebagaimana telah dijelaskan dalam pembahasan sebelumnya, bahwa secara fitrah, seorang wanita memiliki sifat mudah terpengaruh dan selalu tunduk, sehingga dengan mudah seorang isteri tersebut akan mengikuti dien suaminya yang kafir. Dan kemungkinan besar dirinya akan terputus dari Islam dan peradabannya selama-lamanya.

3. Berdasarkan firman Allah –subhaanahu wa ta’ala- dalam QS. al-Baqarah : 221, bahwa suami yang kafir akan berusaha mengajak isterinya yang Muslimah kepada kekafiran. Hal ini berarti mengajak seorang isteri kepada jurang neraka.[20] Sehingga dapat dipastikan bahwa dia juga akan menggiring anak-anaknya ke jurang yang sama. Adapun Allah –subhaanahu wa ta’ala- menutup celah-celah itu semua, sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya,

وَلَن يَجْعَلَ اللّهُ لِلْكَافِرِينَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ سَبِيلاً

dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman.[21]

4. Sebagaimana telah dijelaskan juga, bahwa laki-laki Ahli Kitab tidak memiliki keinginan untuk mengetahui dien Islam ini secara dalam, bahkan enggan untuk mengakuinya. Disamping itu dirinya akan mendustakan al-Qur’an, dan menghinakannya, serta mengingkari risalah Rasulullah –shallaallaahu ‘alahi wa sallam-. Sehingga hal ini akan menimbulkan banyak permasalahan besar diantara anggota keluarga, dan menjadi faktor terbesar rusaknya sebuah rumah tangga.[22]

Lalu bagaimana dengan kasus yang terjadi sebagaimana pada saat ini, dimana tidak sedikit Muslimah menikah dengan laki-laki kafir. Maka dalam hal ini ulama bersepakat bahwa pernikahan tersebut harus dibatalkan, keduanya wajib untuk dipisahkan dan tidak diperbolehkan melanjutkan hubungan suami-isteri.[23] Hal ini disebabkan pernikahan seperti ini termasuk pernikahan fasid (rusak) dan haram.[24]

Mudah-mudahan dengan penjelasan di atas, semakin membuka wacana kita akan kebobrokan dan kesesatan individu-individu yang berada dalam Jaringan Islam (baca: Iblis[25]) Liberal dengan pemahaman-pemahaman mereka.

Mudah-mudahan mereka mampu memahami sabda Rasulullah –shallallaahu ‘alahi wa sallam-,

من قال في القرآن بغير علم فليتبوأ مقعده من النار.

Barangsiapa yang berbicara tentang (ayat-ayat) al-Qur’an tanpa ilmu, maka silakan memesan tempat duduknya di neraka.

Mudah-mudahan Allah –subhaanahu wa ta’ala- memberikan petunjuk kepada mereka. Karena barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka dialah yang mendapat petunjuk dan barangsiapa yang disesatkan Allah, maka merekalah orang-orang yang merugi. (QS. al-A’raf : 178).

Akan tetapi jika mereka masih menyebarkan pemahaman-pemahaman mereka yang bobrok itu di tengah-tengah umat, maka jangan lupa bahwa Allah –subhaanahu wa ta’ala- berfirman,

قُلْ جَاء الْحَقُّ وَمَا يُبْدِئُ الْبَاطِلُ وَمَا يُعِيدُ

Katakanlah, ‘Kebenaran telah datang dan yang bathil itu tidak akan memulai dan tidak (pula) akan mengulangi.’“. (QS. Saba’ : 49). Wallaahu musta’an.

InsyaAllah pembahasan setelah ini mengenai Hukum Seorang Muslim Menikah dengan Wanita Ahlu Kitab. Akan tetapi penulis sengaja tidak memasukkan materi ini untuk membantah argumen kaum Liberal, karena pembahasan di atas merupakan inti dari permasalahan pernikahan beda agama. Demikian. (dakwahwaljihad.wordpress.com)

Bekasi, 08 Mei 2010; 11:20.


[1] Budi Handrianto, 50 Tokoh Islam Liberal Indonesia, (Jakarta: Hujjah Press, 2008), cet. Ke-4, hal.179.

[2] Ibid., hal. 167.

[3] Al-Sayid Sabiq, Fiqhu al-Sunnah, (Beirut: Daar al-Fikr, 1403 H/1983 M), cet Ke-4, jilid II, hal. 94.

[4] QS. al-Baqarah : 221.

[5] Ibnu Katsir, op.cit., juz I, hal. 348.

[6]Qs. al-Mumtahanah: 10.

[7]Ibnu Katsir, Tafsiiru al-Qur’aani al-‘Adziim, 1418 H/1998 M), cet. Ke-2,  juz IV, hal. 450. Lihat pula: Al-Qurtubi, al-Jaami’ lie Ahkaami al-Qur’an, (Kairo: Daar al-Hadits: 1423H/2002M),  jilid IX, hal. 315.

[8] Al-Qurtubi, op.cit., jilid IX, hal. 315.

[9] Lihat: At-Thabari (w. 310H), Jaami’u al-Bayaan  ‘an Ta’wiili al-Qur’an, (Kairo: Daar as-Salaam, 1428H/2007M), cet. Ke-2, jilid X, hal. 7997; Abu Hayyan (w.754H), al-Bahru al-Muhith fie at-Tafsiir, (Beirut: Daar al-Fikr, 2005), juz X, hal. 158; As-Sa’di (w. 1376H), Taisiir al-Kariim ar-Rahman, (Beirut: Mu’assasah ar-Risaalah, 1423H/2002M), cet. Ke-1, hal. 857.

[10]QS. al-Bayyinah : 6.

[11] QS. al-Maidah : 17 dan 72.

[12] QS. al-Maidah : 73.

[13]HR. Muslim, dalam syarahnya karya Imam an-Nawawi –rahimahullaahu ta’ala-, dalam kitab: Keimanan, kitab: Kewajiban Beriman kepada Syari’at Nabi Muhammad -shallallaahu ‘alahi wa sallam- bagi Seluruh Manusia dan Terhapusnya Semua Millah (Ajaran-Ajaran Lain) dengan Millahnya (Nabi Muhammad), (hadits no. 384).

[14]Abu Ishaq asy-Syatibi, al-Muwafaqaat, (Kairo: Daar al-Hadits, 1427 H/2006 M), jilid I, hal. 44-45.

[15]Ibnu Katsir, op.cit., juz I, hal. 347. Imam Ibnu Jarir –rahimahullaahu ta’ala– mengatakan, “Walaupun isnad (perawi-perawi) dalam hadits tersebut masih diperselisihkan keshahihannya, akan tetapi hal itu sudah menjadi kesepakatan umat.”

[16] Hadits shahih isnad, diriwayatkan oleh Imam Ibnu Jarir. Lihat: Ibnu Katsir, op.cit., juz I, hal. 347.

[17]Jalaluddin as-Suyuthi, al-Asybah wa al-Nadha’ir, (Beirut: Maktabah al-Ashriyyah, 1424 H/2003 M), hal. 88.

[18] Lihat: QS. an-Nisaa’ : 34.

[19] QS. Ali Imran : 28. Lihat pula: QS. Ali Imran : 118; QS. an-Nisaa’ : 144; QS. al-Maidah : 51; QS. al-Mumtahanah : 1.

[20]Prof. Dr. Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqhu al-Islami wa Adilatuhu, (Beirut: Daar al-Fikr, 1418 H/1997 M), cet. Ke-4, hal 6652.

[21] QS. an-Nisaa’ : 141.

[22] Al-Sayyid Sabiq, op.cit., jilid II, hal. 94.

[23] DR. Abdul Karim Zaidan, al-Mufashshal fie Ahkaami al-Mar’ah, (Beirut: Muassasah ar-Risaalah, 1413H/1993M), cet. Ke-1, jilid IX, hal.133.

[24] Muhammad bin Ibrahim at-Tuwaijiri, Ensiklopedi Islam AL-KAMIL, terj. Ahmad Munir Badjeber, M.Ag. dkk., (Jakarta: Darus Sunnah Press, 2007), cet Ke-2, hal. 1001.

[25] Kenapa Iblis? Karena sifat-sifat mereka seperti Iblis –laknatullah ‘alaihi-, yaitu enggan, durhaka dan takabbur kepada Rabb-nya. Ketika Allah berfirman kepada para malaikat, “Sujudlah kamu semua kepada Adam”, lalu mereka sujud kecuali iblis. Dia berkata, “Apakah aku akan sujud kepada orang yang Engkau ciptakan dari tanah?” (QS. al-Isra’ : 61). Persis sebagaimana orang-orang Liberal ini, ketika dikatakan kepada mereka, “Pahamilah al-Qur’an ini sesuai yang dimaksudkan oleh Allah dan Rasul-Nya.”  Atau dikatakan, “Berimanlah kalian (kepada Allah dan Rasul-Nya) sebagaimana orang-orang yang telah beriman.” Pasti mereka akan menjawab, “Akan berimankah kami sebagaimana orang-orang bodoh itu beriman?” Ingatlah, bahwa sesungguhnya merekalah yang bodoh, akan tetapi mereka tidak mengetahui.” (QS. al-Baqarah: 13). Atau mereka akan menjawab dengan jawaban-jawaban yang semisal.


Tinggalkan komentar

Kategori